Jumat, 13 Juni 2014

“PAHAM SAINTISME, ANTARA SAINS DAN AGAMA”




 PAHAM SAINTISME,
 ANTARA SAINS DAN AGAMA”




 













Disusun Oleh:
Ayu Sulistiya Ningarum        (135090401111045)





JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Kehidupan modern saat ini sangatlah beragam mulai dari gaya hidup, profesi, serta pemikiran-pemikiran masyarakatnya. Pemikiran-pemikiran yang sebelumnya hanya sebagai bahan pembelajaran sebagai bekal hidup kini menjelma menjadi sebuah paham ideologi. Seperti halnya yang kita ketahui manusia modern saat ini lebih banyak mendasarkan tindakannya pada aspek logika rasional dan pengalaman keilmiahan. Segala sesuatu, yang tidak bisa diuji, dianggap tidak bernilai dan disingkirkan dari alam berfikir. Karena dasar itulah banyak manusia yang mengedepankan logika itu yang menggangap bahwa agama adalah suatu sistem keyakinan yang tidak rasional dan bisa menghambat kemajuan manusia.
Anggapan sinis melihat agama tersebut, menjadi semakin memperoleh Bukti manakala perilaku umat beragama sering tidak bisa membuktikan dampak positif agama dalam kehidupan manusia. Kalangan Fundamentalis agama, membuktikan bahwa agama sangat bisa untuk menjadi factor pemicu konflik antar umat manusia. Pada kesempatan lainnya, agama juga bisa bertransformasi menjadi identitas politik dan kekuasaan, sehingga karenanya bentuk-bentuk penindasan kemanusiaan memperoleh legitimasi.[[i]]
Saintisme yang merupakan hasil dari penemuan ilmiah telah berkembang sedemikian rupa, menyebabkan timbulnya banyak perspektif dalam cara memandang kebenaran dan nilai-nilai. Padahal kita tahu bahwa bahwa eksperimenpun tidak mungkin mencapai tingkat kebenaran yang menyeluruh. Namun faktanya, penemuan-penemuan ilmiah nyatanya dikembangkan menjadi aliran pemikiran filsafat, yang dengan hal itu kemudian pandangan-pandangan yang berbentuk serpihan dan reduksionis tentang manusia, diklaim sebagai satu-satunya jalan keluar pagi pemecahan masalah yang dihadapi manusia. Ketika para penganut saintisme hendak menghegemoni kebenaran dengan menyingkirkan system tata nilai lainnya seperti agama, maka saintisme sendiri tentunya harus di kritik dan dianalisa.
Sesuai latar belakang tersebut, penulis menyusun makalah dengan judul “Paham Saintisme,
 Antara Agama dan Sains”



BAB II
PEMBAHASAN

A.        PENGERTIAN SAINTINISME
Saintisme adalah istilah yang digunakan untuk (biasanya secara peyoratif) kepercayaan bahwa metode dan pendekatan ilmiah dapat diterapkan untuk segala hal, dan bahwa sains adalah cara pandang dunia yang paling otoritatif atau paling berharga hingga menyingkirkan cara pandang lainnya. Saintisme telah didefinisikan sebagai "pandangan bahwa metode induktif sains adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan terutama bahwa sains dapat menghasilkan pengetahuan mengenai manusia dan masyarakat yang benar." Istilah ini biasanya digunakan sebagai kritik terhadap positivisme logikaekstrem dan telah digunakan oleh beberapa tokoh seperti ilmuwan sosial Friedrich Hayek, filsuf sainsKarl Popper, dan filsuf Hilary Putnam dan Tzvetan Todorov untuk mendeskripsikan sokongan dogmatik terhadap metodologi sains dan pereduksian pengetahuan menjadi hal-hal yang dapat diukur saja.[[ii]]

B.        SEJARAH SAINTISME
Abad ke 19 dianggap oleh filsafat sebagai abad dimana semua kepercayaan mencapai puncaknya.[[iii]].Abad Pencerahan adalah suatu periode yang lahir dari dan bersamaan dengan munculnya suatu keyakinan baru. Suatu keyakinan yang tumbuh dari hasil pertemuan antara kerja intelektual manusia dan sejarah. Abad Pencerahan adalah titik keberangkatan dimana rasio manusia dianggap bisa mengatasi seluruh persoalan manusia. Pendewaan rasio ini tercermin dan menjelma dalam perkembangan sains modern yang sangat pesat.
Perkembangan sains bertolak dari pemikiran filsafat yang bercorak rasional, yang berakar dalam pemikiran Descartes dan Bacon pada abad itu. Di mulai di zaman itu, Hasil-hasil penemuan ilmiah di bidang astronomi dan mekanik ditransformasikan menjadi sistem pemikiran yang mampu merubah pandangan hidup, gambaran dunia dan cita-cita masyarakat. Termasuk gambaran manusia tentang dirinya dan tempatnya di dunia.
Penemuan-penemuan Copernicus, Kepler dan Galileo di bidang astronomi, menggunakan jasa geometri dan matematik, berhasil mengubah pandangan kaum intelektual tentang pusat perputaran alam semesta. Sebelumnya mereka mengikuti pandangan resmi gereja bahwa bumi merupakan pusat peredaran alam semesta. Planet-planet di angkasa raya, bulan dan matahari, semuanya beredar mengelilingi bumi.Copernicus membuktikan melalui penelitian ilmiahnya bahwa sesungguhnya bukan bumi, tetapi matahari yang menjadi pusat perputaran alam semesta (Prosch 1971:9-47) [[iv]]
Dampak penemuan ini ternyata besar dalam mengalihkan kepercayaan orang terhadap agama dan menumbuhkan pandangan dunia (worldview) baru yang serba ilmiah dan rasional. Terlebih dengan munculnya penemuan ilmiah Newton di bidang fisika, yaitu tentang gerakan dan gravitasi yang merupakan sumber perputaran segala sesuatu di alam semesta ini.
Penemuan inilah yang melahirkan teori baru di bidang fisika dan daripadanya Newton menyusun sebuah kosmologi atau filsafat alam semesta. Hasil kajian fisika Newton ternyata besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat dan cabang-cabang ilmu lain di luar fisika seperti biologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, etika dan ilmu politik.
Pada tahun 1687 Isaac Newton mempublikasikan buku hasil penyelidikan ilmiahnya di bidang mekanik berjudul Mathematical Principles of Natural Philosophy. Dalam bukunya itu dia menemukan bahwa asas pergerakan benda-benda di alam semesta ialah gravitasi. Kosmologinya Newton berhasil mengarahkan perhatian manusia kepada alam melebihi sebelumnya.
Dalam kosmologinya, Newton memandang alam sebagai tatanan yang sempurna, memiliki hukum-hukum dan ukuran tertentu yang tidak mungkin diubah. Alam digambarkan sebagai Mesin Raksasa, sedangkan apa yang terjadi di bumi dan langit, diyakini olehnya memiliki sebab-sebab dalam alam dan dapat diketahui secara pasti. Sebagaimana dinyatakan Oppenheimer (1954:13-14), karena dalam kosmologi Newton alam dipandang sebagai mesin raksasa yang memiliki ketentuan yang pasti, maka alam bukan hanya merupakan penyebab kejadian dan pergerakan benda-benda, termasuk manusia. Alam juga ternyata bersifat objektif, dalam arti tidak mungkin dipengaruhi oleh tindakan manusia.
Newton, dan para ilmuwan sesudahnya (seperti Stephen Hawkings), merasa berhasil membebaskan manusia dari kepercayaan terhadap kekuatan magis alam gaib, namun juga sekaligus memenjara manusia dalam belenggu keyakinan terhadap kekuatan magis dari sains itu sendiri.
Dalam keyakinan baru ini perhitungan yang tepat dan canggih secara matematik, dipercaya dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia, sekaligus bisa membuat manusia memiliki pengetahuan tentang hakikat terakhir kehidupan. Dalam cara berpikir seperti ini tidak ada ruang bagi aktivitas keruhanian. Tuhan, kesadaran, hati nurani, cinta kasih, emosi dan intuisi – semua dicampakkan ke luar, sebab segala sesuatu hanya tunduk pada hukum gerakan dan gravitasi.
Perkembangan selanjutnya, pada akhir ke-18 para ilmuwan dan ahli filsafat mulai berusaha menjadikan sains (Fisika) sebagai landasan bagi disiplin ilmu-ilmu lain seperti sejarah, ekonomi, biologi, geologi , psikologi,linguistik, etnografi dan lain-lain
Sebuah Contoh Optimisme yang luar biasa terhadap sains modern misalnya, bisa dilihat dari pemikian Marquis de Condorcet, (termasuk ilmuwan yang membidani lahirnya revolusi perancis). Marquis de Condorcet menulis sebuah karya monumental, berjudul Esquisse d’untableau historique des progres de l’esprit humain (Sketsa Mengenai Suatu Lukisan Historis tentang Kemajuan Pikiran Manusia).
Dalam buku ini Condorcet melukiskan bahwa penyebaran kekuatan-kekuatan rasional dalam masyarakat akan membawa suatu kemajuan yang tidak sekedar berupa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan material, namun terutama terwujudnya tujuan sejarah, yakni kesempurnaan tak terbatas umat manusia yang juga bersifat etis.
Dia memprediksi, bahwa di masa depan rasio yang terwujud dalam sains akan menghilangkan semua bentuk ketimpangan-ketimpangan kultural, politis dan ekonomis diantara berbagai bangsa, menyempurnakan kemampuan manusia, mewu-judkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan umum, menyingkirkan diskriminasi seksual dan rasial, dan menghapus perang di muka bumi.
Anggapan bahwa sains dapat menjadi juru selamat manusia seperti dikisahkan oleh Condorcet itu , menjadi sebuah klaim dari komunitas ilmiah bahwa nilai-nilai yang mereka anut dapat menjadi sumber otoritatif bagi masyarakat luas. Asumsi inilah yang kemudian disebut sebagai “saintisme”. Saintisme berkembang menjadi suatu system kepercayaan, yang didalamnya meyakini bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan, otoritatif dan seterusnya. Saintisme hendak menggeser agama lama manusia yang dianggap penuh dengan keyakinan tidak rasional. Saintisme adalah agama baru manusia Modern. [[v]]

C.        VISI SAINTISME
Visi total sains sebagai satu-satunya jalan keluar atas segala persoalan manusia, memang bukannya tanpa dasar. Karakter sains modern adalah “netral”, yakni tidak berprasangka, tidak memberikan penilaian baik-buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi.
Watak-watak objektifitas semacam ini melekat dalam ilmu-ilmu alam, dan secara tegas dibedakan dari etika yang berciri personal dan menilai tindakan. Dengan watak-watak semacam ini, sains merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar di kalangan komunitas ilmiah. Paradigma sains meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada perspektif dan otonomi subjektif.
Sebagai sebuah cermin besar bagi kehidupan, sains sebagaimana diyakini oleh para ilmuwan mengandung empat asas etis universal:
1. Keyakinan akan adanya kebenaran objektif,
2. Keyakinan akan adanya metode-metode untuk mendekati kebenaran tersebut,
3. Keyakinan akan dimungkinkannya konsensus tentang kebenaran itu,
4. dan keyakinan bahwa konsensus itu bisa dicapai tanpa paksaan.
Dimata para ilmuwan, keempat asas ini dapat menjadi suatu dasar “sistem etika umum” yang digunakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.[[vi]]
Anggapan bahwa sains dapat menjadi juru selamat manusia seperti dikisahkan oleh Condorcet itu , menjadi sebuah klaim dari komunitas ilmiah bahwa nilai-nilai yang mereka anut dapat menjadi sumber otoritatif bagi masyarakat luas. Asumsi inilah yang kemudian disebut kepercayaan, yang didalamnya meyakini bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan, otoritatif dan seterusnya. Saintisme hendak menggeser agama sebagai “saintisme”. Saintisme berkembang menjadi suatu system lama manusia yang dianggap penuh dengan keyakinan tidak rasional. Saintisme adalah agama baru manusia Modern. [[vii]]

D.        ISLAM SEBAGAI WAWASAN SAINTIS
Seorang saintis adalah intelektual yang berkiprah untuk memajukan dunia pengetahuan serta teknologi melalui alam. Sebagai seorang yang mengerti akan majunya dunia sains dan teknologi, saintis memiliki peranan penting untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Memiliki potensi besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan, saintis berupaya memperbaiki kualitas penelitian di berbagai bidang. Diharapkan dengan produk penelitian yang mereka garap, akan bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun acapkali seorang saintis dihadapkan pada permasalahan ideologi yang mereka pegang. Mereka sering mendewakan akal pikiran mereka sendiri dan tidak mau kembali kepada ajaran ilmu pengetahuan yang seharusnya membuat mereka percaya kepada Tuhan.  Mereka telah berpaling dengan memperdengarkan hawa nafsu dan keyakinan mereka sendiri terhadap sebuah ilmu pengetahuan. Padahal Allah telah menyuruh kita untuk tunduk dan patuh terhadapNya karena tiada sesuatu pemberian tak terkecuali akal yang telah diberikan kepada kita untuk bisa berpikir dan mencerna. Sungguh ironis jika  kesempatan untuk menelaah lebih jauh tanda-tanda kekuasaan Allah malah kita selewengkan untuk dijadikan sebagai pedoman dan keyakinan pribadi yang entah itu datangnya dari mana.
Saintis perlu mewaspadai fenomena terjadinya penuhanan terhadap akal mereka sendiri. Sedangkan akal tersebut tidak akan member faedah kepada kita kecuali yang telah Allah tetapkan bagi kita. Saintis bekerja dengan logika jalan berpikir dan kecerdasan yang cemerlang yang diberikan Allah kepada mereka untuk dapat selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Entah apa jadinya jika nikmat akal kita dicabut seketika oleh Allah sehingga membuat kita pikun, lalai, dan sebagainya. Masih mampukah kita mendewakan akal kita . Masih sanggupkah kita bergantung kepada kepunyaan yang Allah miliki dan Dia memiliki kepunyaan segala sesuatu atas makhluk-Nya. Sungguh jika saintis adalah orang yang benar-benar cerdas maka merka akan berpikir bahwa kecerdasan yang mereka miliki akan menghantarkan mereka pada keridhaan Allah sehinggu hidup mereka penuh dengan rasa ketundukan kepada-Nya.

E. RELEVASI PAHAM SAINTISME DENGAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN
Sebagai contohnya banyak sekali ilmuwan-ilmuwan dunia yang sangat terkenal dimana mereka bukan berasal dari Umat Islam malah mereka tidak mempunyai agama dan keyakinan kepada Tuhan. Mereka seperti memiliki kekuasaan tertinggi terhadap akal dan pikiran mereka. Padahal jika mereka tahu siapa lah yang memiliki akal yang mereka pergunakan, niscaya mereka akan selalu tunduk dan menjalankan syariat serta kebenaran yang ada. Praktis hal ini akan mempengaruhi pandangan umum bahwasanya seorang saintis semakin tinggi derajat kelimuannya mereka akan lebih condong untuk menjauhkan diri kepada Sang Pemiliknya. Padahal itu sama sekali tidak benar.
Islam sebagai agama yang sempurna dan mengatur segala lini kehidupan manusia telah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai prioritas utama. Bahkan pada awal turunnya atay Al-Qur’an kita diperintahkan untuk membaca. Namun Islam tidak melupakan esensi ilmu pengetahuan adalah untuk selalu meyakini Kebesaran-Nya dan selalu mengikuti perintah-Nya tanpa sedikitpun diselewengkan. Islam telah secara gamblang menyuruh manusia untuk terus menuntut ilmu dan menyebarkannya. Islam penuh dengan hikmah yang dapat menghantarkan manusia menjadi seorang yang mempunyai keutamaan di dunia ini. Islam lah agama yang menjadi solusi bagi kedangkalan pikiran saintis saat ini yang terlalu mendewakan akal pikiran dan kecerdasan mereka sendiri. Perlu diketahui bahwa ilmu agama lebih mulia dibandingkan dengan ilmu dunia. Karena agama akan menghantarkan manusia kepada kebenaran yang haqiqi yang bersumber dari-Nya dan dapat membuat manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi disbanding dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu Islam adalah agama pencerah yang harus menjadi landasan berpikir bagi setiap saintis yang meyakini bahwa dirinya cerdas.
(Januari 2013)
[[viii]]
Kita perlu melihat cendekiawan muslim yakni Ibnu Sina yang ahli dalam bidang keilmuan agama tapi juga tidak buta akan ilmu kedokteran dan filsafat. Begitu juga Ibnu Rusyd yang mahir akan keintelektualan ilmu fikih tapi tidak buta akan filsafat dan ilmu umum lainnya. Penemuan angka nol, pemetaan geografi bumi, optik, kedokteran itu semua mempunyai rahim dari keintelektualan kaum muslim yang harus kita raih kembali.
Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungi kejadian-kejadian alam semesta. Ini berarti ketika seseorang mempelajari Biologi, Fisika, Kimia, Geografi dan Astronomi, sejatinya orang tersebut sedang memahami pikiran, keagungan dan kehadiran sang Maha Pencipta, Allah SWT..
Sayangnya , usaha-usaha memahami alam ini masih dipandang sebagai kegiatan duniawi yang kering dari nilai-nilai spiritual agama. Efek dari pemahaman ini adalah sekolah-sekolah masih menggiring siswa-siswinya mempelajari siklus hujan tetapi tidak sampai kepada kesimpulan siapa yang menurunkan hujan. Atau mempelajari tatasurya, tapi tidak dikenalkan dan dipahamkan bahwa Allah-lah yang mendesain semua keteraturan di jagad raya ini. Tidak heran, apalagi masih banyak dari para saintis kita yang bobrok akhlaknya. Bahkan sebagiannya lagi melakukan korupsi dan eksploitasi secara besar-besaran hingga alam menjadi rusak. Tidak diragukan lagi, ini adalah akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual yang seharusnya mereka dapatkan selama bersekolah.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
    Saintisme telah didefinisikan sebagai "pandangan bahwa metode induktif sains adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan terutama bahwa sains dapat menghasilkan pengetahuan mengenai manusia dan masyarakat yang benar." Saintisme berkembang menjadi suatu system lama manusia yang dianggap penuh dengan keyakinan tidak rasional. Saintisme adalah agama baru manusia Modern. Sementara dalam pandangan islam, saintis bekerja dengan logika jalan berpikir dan kecerdasan yang cemerlang yang diberikan Allah kepada mereka untuk dapat selalu mendekatkan diri kepada-Nya. saintis adalah orang yang benar-benar cerdas maka merka akan berpikir bahwa kecerdasan yang mereka miliki akan menghantarkan mereka pada keridhaan Allah sehinggu hidup mereka penuh dengan rasa ketundukan kepada-Nya. Juga saintis adalah orang yang benar-benar cerdas maka merka akan berpikir bahwa kecerdasan yang mereka miliki akan menghantarkan mereka pada keridhaan Allah sehinggu hidup mereka penuh dengan rasa ketundukan kepada-Nya.
     Benarlah apa yang dikatakan Albert Einstein: “Science with out religion is blind”, ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta. Oleh sebab itu, kita semua berimajinasi akan adanya ilmu Matematika, Biologi, Geografi yang sejak awal dibangun dan didasarkan dari kitab suci Al-Quranu’l Karim. Selain itu, kita semua juga memimpikan akan bangkitnya kembali peradapan Islam yang bertumpu pada sains Qurani. Tanpa sains tidak ada masa depan. Tanpa nilai-nilai Quran, sains pun cenderung hanya menilai dari nilai objektivitas dan membawa malapetaka. Oleh karenanya pentingnya mendalami ilmu agama serta lmu pengetahuan secara seimbang. Karena al quran sebagai pedoman petunjuk hidup manusa dapat memberikan jalan yang lurus serta kebermanfaatan yang banyak untuk kemaslahatan umat apabila kita dapat memahami ajaran agama serta dapat mengamalkan melalui ilmu yang sudah kita dapat.[[ix]]


DAFTAR PUSTAKA
[i] http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/01/buanglah-keyakinan-agama-lamamu-dan-bergabunglah-dengan-agama-orang-modern-ilmuwan--596570.html
[ii]http:/id.wikipedia.org/wiki/Saintisme
[iii]http://books.google.co.id/books?id=RzmVRtcUJtEC&pg=PA51&lpg=PA51&dq=saintisme&source=bl&ots=bUvew4fE_2&sig=ANeFtmRAxvRlN4IBDKKK3XeEDUg&hl=id&sa=X&ei=FYt8U5fJGo7JrQe614HACA&redir_esc=y#v=onepage&q=saintisme&f=false

[iv] http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/01/buanglah-keyakinan-agama-lamamu-dan-bergabunglah-dengan-agama-orang-modern-ilmuwan--596570.html
[v] Buanglah-keyakinan-agama-lamamu-dan-bergabunglah-dengan-agama-orang-modern-ilmuwan? by Ahmad Jazuli Harwono..http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/01
[vii] http://books.google.co.id/books?id=Z9-TNyQZhmoC&pg=PA174&lpg=PA174&dq=Anggapan+bahwa+sains+dapat+menjadi+juru+selamat+manusia+seperti+dikisahkan+oleh+Condorcet+itu+,
[ix] http://www.sangpencerah.com/2014/03/kawah-candradimuka-saintis-islami-sma.html