“PAHAM SAINTISME,
ANTARA
SAINS DAN AGAMA”
Disusun Oleh:
Ayu Sulistiya Ningarum
(135090401111045)
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kehidupan modern saat ini sangatlah beragam
mulai dari gaya hidup, profesi, serta pemikiran-pemikiran masyarakatnya.
Pemikiran-pemikiran yang sebelumnya hanya sebagai bahan pembelajaran sebagai
bekal hidup kini menjelma menjadi sebuah paham ideologi. Seperti halnya yang
kita ketahui manusia modern saat ini lebih banyak mendasarkan tindakannya pada
aspek logika rasional dan pengalaman keilmiahan. Segala sesuatu, yang tidak
bisa diuji, dianggap tidak bernilai dan disingkirkan dari alam berfikir. Karena
dasar itulah banyak manusia yang mengedepankan logika itu yang menggangap bahwa
agama adalah suatu sistem
keyakinan yang tidak rasional dan bisa menghambat kemajuan manusia.
Anggapan sinis melihat agama tersebut, menjadi
semakin memperoleh Bukti manakala perilaku umat beragama sering tidak bisa
membuktikan dampak positif agama dalam kehidupan manusia. Kalangan
Fundamentalis agama, membuktikan bahwa agama sangat bisa untuk menjadi factor pemicu konflik antar umat manusia. Pada
kesempatan lainnya, agama juga bisa bertransformasi menjadi identitas politik
dan kekuasaan, sehingga karenanya bentuk-bentuk penindasan kemanusiaan
memperoleh legitimasi.[[i]]
Saintisme yang merupakan hasil dari penemuan ilmiah telah
berkembang sedemikian rupa, menyebabkan timbulnya banyak perspektif dalam cara
memandang kebenaran dan nilai-nilai. Padahal kita tahu bahwa bahwa eksperimenpun tidak
mungkin mencapai tingkat kebenaran yang menyeluruh. Namun faktanya, penemuan-penemuan
ilmiah nyatanya dikembangkan menjadi aliran pemikiran filsafat, yang dengan hal
itu kemudian pandangan-pandangan yang berbentuk serpihan dan reduksionis
tentang manusia, diklaim sebagai satu-satunya jalan keluar pagi pemecahan
masalah yang dihadapi manusia. Ketika para
penganut saintisme hendak menghegemoni kebenaran dengan menyingkirkan system
tata nilai lainnya seperti agama, maka saintisme sendiri tentunya harus di
kritik dan dianalisa.
Sesuai latar belakang tersebut, penulis menyusun makalah dengan judul “Paham Saintisme,
Antara
Agama dan Sains”
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SAINTINISME
Saintisme adalah istilah yang digunakan untuk (biasanya secara peyoratif) kepercayaan bahwa metode dan pendekatan ilmiah dapat diterapkan untuk segala hal, dan bahwa sains adalah cara pandang dunia yang paling otoritatif atau paling
berharga hingga menyingkirkan cara pandang lainnya. Saintisme telah didefinisikan sebagai
"pandangan bahwa metode induktif sains adalah satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan terutama bahwa sains dapat menghasilkan pengetahuan
mengenai manusia dan masyarakat yang benar." Istilah ini biasanya digunakan sebagai
kritik terhadap positivisme logikaekstrem dan
telah digunakan oleh beberapa tokoh seperti ilmuwan sosial Friedrich Hayek, filsuf sainsKarl Popper, dan filsuf Hilary Putnam dan Tzvetan Todorov untuk mendeskripsikan sokongan dogmatik terhadap metodologi
sains dan pereduksian pengetahuan menjadi hal-hal yang dapat diukur saja.[[ii]]
B. SEJARAH
SAINTISME
Abad ke 19
dianggap oleh filsafat sebagai abad dimana semua kepercayaan mencapai
puncaknya.[[iii]].Abad Pencerahan adalah suatu periode yang lahir dari
dan bersamaan dengan munculnya suatu keyakinan baru. Suatu keyakinan yang tumbuh dari hasil pertemuan antara kerja
intelektual manusia dan sejarah. Abad Pencerahan adalah titik keberangkatan
dimana rasio manusia dianggap bisa mengatasi seluruh persoalan manusia.
Pendewaan rasio ini tercermin dan menjelma dalam perkembangan sains modern yang
sangat pesat.
Perkembangan
sains bertolak dari pemikiran filsafat yang bercorak rasional, yang berakar
dalam pemikiran Descartes dan Bacon pada abad
itu. Di mulai di zaman itu, Hasil-hasil penemuan ilmiah di bidang astronomi dan
mekanik ditransformasikan menjadi sistem pemikiran yang mampu merubah pandangan
hidup, gambaran dunia dan cita-cita masyarakat.
Termasuk gambaran manusia tentang dirinya dan tempatnya di dunia.
Penemuan-penemuan
Copernicus, Kepler dan Galileo di bidang astronomi, menggunakan jasa geometri
dan matematik, berhasil mengubah pandangan kaum
intelektual tentang pusat perputaran alam semesta. Sebelumnya mereka mengikuti
pandangan resmi gereja bahwa bumi merupakan pusat peredaran alam semesta. Planet-planet di angkasa raya,
bulan dan matahari, semuanya beredar mengelilingi bumi.Copernicus membuktikan
melalui penelitian ilmiahnya bahwa sesungguhnya bukan bumi, tetapi matahari
yang menjadi pusat perputaran alam semesta (Prosch 1971:9-47) [[iv]]
Dampak penemuan
ini ternyata besar dalam mengalihkan kepercayaan orang terhadap agama dan
menumbuhkan pandangan dunia (worldview) baru
yang serba ilmiah dan rasional. Terlebih dengan munculnya penemuan ilmiah Newton di bidang fisika, yaitu tentang gerakan dan
gravitasi yang merupakan sumber perputaran segala sesuatu di alam semesta ini.
Penemuan inilah yang melahirkan
teori baru di bidang fisika dan daripadanya Newton menyusun sebuah kosmologi
atau filsafat alam semesta. Hasil kajian fisika Newton ternyata besar
pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat dan cabang-cabang ilmu lain di luar
fisika seperti biologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, etika dan ilmu politik.
Pada tahun 1687 Isaac
Newton mempublikasikan buku hasil penyelidikan ilmiahnya di bidang
mekanik berjudul Mathematical Principles of
Natural Philosophy. Dalam
bukunya itu dia menemukan bahwa asas pergerakan benda-benda di alam semesta
ialah gravitasi. Kosmologinya Newton berhasil mengarahkan perhatian manusia
kepada alam melebihi sebelumnya.
Dalam kosmologinya, Newton memandang alam
sebagai tatanan yang sempurna, memiliki hukum-hukum dan ukuran tertentu yang
tidak mungkin diubah. Alam digambarkan sebagai Mesin Raksasa, sedangkan apa
yang terjadi di bumi dan langit, diyakini olehnya memiliki sebab-sebab dalam
alam dan dapat diketahui secara pasti. Sebagaimana dinyatakan Oppenheimer (1954:13-14), karena dalam kosmologi Newton
alam dipandang sebagai mesin raksasa yang memiliki ketentuan yang pasti, maka
alam bukan hanya merupakan penyebab kejadian dan pergerakan benda-benda,
termasuk manusia. Alam juga ternyata bersifat objektif, dalam arti tidak
mungkin dipengaruhi oleh tindakan manusia.
Newton, dan para ilmuwan
sesudahnya (seperti Stephen Hawkings), merasa
berhasil membebaskan manusia dari kepercayaan terhadap kekuatan magis alam
gaib, namun juga sekaligus memenjara manusia dalam belenggu keyakinan terhadap
kekuatan magis dari sains itu sendiri.
Dalam keyakinan baru ini
perhitungan yang tepat dan canggih secara matematik, dipercaya dapat memberikan
kebahagiaan kepada manusia, sekaligus bisa membuat manusia memiliki pengetahuan
tentang hakikat terakhir kehidupan. Dalam cara berpikir seperti ini tidak ada ruang
bagi aktivitas keruhanian. Tuhan, kesadaran, hati nurani, cinta kasih, emosi
dan intuisi – semua dicampakkan ke luar, sebab segala sesuatu hanya tunduk pada
hukum gerakan dan gravitasi.
Perkembangan selanjutnya,
pada akhir ke-18 para ilmuwan dan ahli filsafat mulai berusaha menjadikan sains
(Fisika) sebagai landasan bagi disiplin ilmu-ilmu lain seperti sejarah,
ekonomi, biologi, geologi , psikologi,linguistik, etnografi dan lain-lain
Sebuah Contoh Optimisme yang luar biasa terhadap sains modern
misalnya, bisa dilihat dari pemikian Marquis de Condorcet, (termasuk ilmuwan
yang membidani lahirnya revolusi perancis). Marquis de Condorcet menulis sebuah
karya monumental, berjudul Esquisse d’untableau historique des progres de
l’esprit humain (Sketsa Mengenai Suatu Lukisan Historis tentang Kemajuan Pikiran
Manusia).
Dalam buku ini Condorcet melukiskan bahwa penyebaran kekuatan-kekuatan
rasional dalam masyarakat akan membawa suatu kemajuan yang tidak sekedar berupa
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan material, namun terutama terwujudnya tujuan
sejarah, yakni kesempurnaan tak terbatas umat manusia yang juga bersifat etis.
Dia memprediksi, bahwa di masa depan rasio yang terwujud dalam sains akan
menghilangkan semua bentuk ketimpangan-ketimpangan kultural, politis dan
ekonomis diantara berbagai bangsa, menyempurnakan kemampuan manusia,
mewu-judkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan umum, menyingkirkan
diskriminasi seksual dan rasial, dan menghapus perang di muka bumi.
Anggapan bahwa sains dapat menjadi juru selamat manusia seperti dikisahkan
oleh Condorcet itu , menjadi sebuah klaim dari komunitas ilmiah bahwa
nilai-nilai yang mereka anut dapat menjadi sumber otoritatif bagi masyarakat
luas. Asumsi inilah yang kemudian disebut sebagai “saintisme”.
Saintisme berkembang menjadi suatu system kepercayaan, yang didalamnya meyakini
bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai
karena sifat kegunaan, otoritatif dan seterusnya. Saintisme hendak menggeser
agama lama manusia yang dianggap penuh dengan keyakinan tidak rasional. Saintisme
adalah agama baru manusia Modern. [[v]]
C. VISI
SAINTISME
Visi total sains sebagai
satu-satunya jalan keluar atas segala persoalan manusia, memang bukannya tanpa
dasar. Karakter sains modern adalah “netral”, yakni tidak berprasangka, tidak
memberikan penilaian baik-buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan
manusiawi.
Watak-watak objektifitas semacam ini
melekat dalam ilmu-ilmu alam, dan secara tegas dibedakan dari etika yang
berciri personal dan menilai tindakan. Dengan watak-watak semacam ini, sains
merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar di kalangan komunitas
ilmiah. Paradigma sains meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak
tergantung pada perspektif dan otonomi subjektif.
Sebagai sebuah cermin besar bagi
kehidupan, sains sebagaimana diyakini oleh para ilmuwan mengandung empat asas
etis universal:
1. Keyakinan akan adanya kebenaran objektif,
2. Keyakinan akan adanya metode-metode untuk mendekati kebenaran
tersebut,
3. Keyakinan akan dimungkinkannya konsensus tentang kebenaran itu,
4. dan keyakinan bahwa konsensus itu bisa dicapai tanpa paksaan.
Dimata para ilmuwan, keempat asas
ini dapat menjadi suatu dasar “sistem etika umum” yang digunakan untuk mengatur
kehidupan bermasyarakat.[[vi]]
Anggapan bahwa sains dapat menjadi juru selamat manusia seperti dikisahkan
oleh Condorcet itu , menjadi sebuah klaim dari komunitas ilmiah bahwa
nilai-nilai yang mereka anut dapat menjadi sumber otoritatif bagi masyarakat
luas. Asumsi inilah yang kemudian disebut kepercayaan, yang didalamnya
meyakini bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling
bernilai karena sifat kegunaan, otoritatif dan seterusnya. Saintisme hendak
menggeser agama sebagai “saintisme”. Saintisme
berkembang menjadi suatu system lama manusia yang dianggap penuh dengan
keyakinan tidak rasional. Saintisme adalah agama baru manusia Modern. [[vii]]
D. ISLAM SEBAGAI WAWASAN SAINTIS
Seorang saintis adalah intelektual yang
berkiprah untuk memajukan dunia pengetahuan serta teknologi melalui alam.
Sebagai seorang yang mengerti akan majunya dunia sains dan teknologi, saintis
memiliki peranan penting untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Memiliki potensi
besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan, saintis berupaya memperbaiki
kualitas penelitian di berbagai bidang. Diharapkan dengan produk penelitian
yang mereka garap, akan bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun acapkali seorang saintis dihadapkan pada
permasalahan ideologi yang mereka pegang. Mereka sering mendewakan akal pikiran
mereka sendiri dan tidak mau kembali kepada ajaran ilmu pengetahuan yang
seharusnya membuat mereka percaya kepada Tuhan. Mereka telah berpaling
dengan memperdengarkan hawa nafsu dan keyakinan mereka sendiri terhadap sebuah
ilmu pengetahuan. Padahal Allah telah menyuruh kita untuk tunduk dan patuh
terhadapNya karena tiada sesuatu pemberian tak terkecuali akal yang telah
diberikan kepada kita untuk bisa berpikir dan mencerna. Sungguh ironis
jika kesempatan untuk menelaah lebih jauh tanda-tanda kekuasaan Allah
malah kita selewengkan untuk dijadikan sebagai pedoman dan keyakinan pribadi
yang entah itu datangnya dari mana.
Saintis perlu mewaspadai fenomena terjadinya
penuhanan terhadap akal mereka sendiri. Sedangkan akal tersebut tidak akan
member faedah kepada kita kecuali yang telah Allah tetapkan bagi kita. Saintis
bekerja dengan logika jalan berpikir dan kecerdasan yang cemerlang yang
diberikan Allah kepada mereka untuk dapat selalu mendekatkan diri kepada-Nya.
Entah apa jadinya jika nikmat akal kita dicabut seketika oleh Allah sehingga
membuat kita pikun, lalai, dan sebagainya. Masih mampukah kita mendewakan akal
kita . Masih sanggupkah kita bergantung kepada kepunyaan yang Allah miliki dan
Dia memiliki kepunyaan segala sesuatu atas makhluk-Nya. Sungguh jika saintis
adalah orang yang benar-benar cerdas maka merka akan berpikir bahwa kecerdasan
yang mereka miliki akan menghantarkan mereka pada keridhaan Allah sehinggu
hidup mereka penuh dengan rasa ketundukan kepada-Nya.
E. RELEVASI PAHAM
SAINTISME DENGAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN
Sebagai contohnya banyak sekali ilmuwan-ilmuwan
dunia yang sangat terkenal dimana mereka bukan berasal dari Umat Islam malah
mereka tidak mempunyai agama dan keyakinan kepada Tuhan. Mereka seperti
memiliki kekuasaan tertinggi terhadap akal dan pikiran mereka. Padahal jika
mereka tahu siapa lah yang memiliki akal yang mereka pergunakan, niscaya mereka
akan selalu tunduk dan menjalankan syariat serta kebenaran yang ada. Praktis
hal ini akan mempengaruhi pandangan umum bahwasanya seorang saintis semakin
tinggi derajat kelimuannya mereka akan lebih condong untuk menjauhkan diri
kepada Sang Pemiliknya. Padahal itu sama sekali tidak benar.
Islam sebagai agama yang sempurna dan mengatur
segala lini kehidupan manusia telah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai
prioritas utama. Bahkan pada awal turunnya atay Al-Qur’an kita diperintahkan
untuk membaca. Namun Islam tidak melupakan esensi ilmu pengetahuan adalah untuk
selalu meyakini Kebesaran-Nya dan selalu mengikuti perintah-Nya tanpa
sedikitpun diselewengkan. Islam telah secara gamblang menyuruh manusia untuk
terus menuntut ilmu dan menyebarkannya. Islam penuh dengan hikmah yang dapat
menghantarkan manusia menjadi seorang yang mempunyai keutamaan di dunia ini.
Islam lah agama yang menjadi solusi bagi kedangkalan pikiran saintis saat ini
yang terlalu mendewakan akal pikiran dan kecerdasan mereka sendiri. Perlu
diketahui bahwa ilmu agama lebih mulia dibandingkan dengan ilmu dunia. Karena
agama akan menghantarkan manusia kepada kebenaran yang haqiqi yang bersumber
dari-Nya dan dapat membuat manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi
disbanding dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu Islam adalah agama pencerah
yang harus menjadi
landasan berpikir bagi setiap saintis yang meyakini bahwa dirinya cerdas.
(Januari 2013)[[viii]]
(Januari 2013)[[viii]]
Kita
perlu
melihat cendekiawan muslim yakni Ibnu Sina yang ahli dalam bidang keilmuan
agama tapi juga tidak buta akan ilmu kedokteran dan filsafat. Begitu juga Ibnu
Rusyd yang mahir akan keintelektualan ilmu fikih tapi tidak buta akan filsafat
dan ilmu umum lainnya. Penemuan angka nol, pemetaan geografi bumi, optik,
kedokteran itu semua mempunyai rahim dari keintelektualan kaum muslim yang
harus kita raih kembali.
Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungi
kejadian-kejadian alam semesta. Ini berarti ketika seseorang mempelajari
Biologi, Fisika, Kimia, Geografi dan Astronomi, sejatinya orang tersebut sedang
memahami pikiran, keagungan dan kehadiran sang Maha Pencipta, Allah SWT..
Sayangnya , usaha-usaha memahami alam ini masih
dipandang sebagai kegiatan duniawi yang kering dari nilai-nilai spiritual agama. Efek dari pemahaman ini adalah
sekolah-sekolah masih menggiring siswa-siswinya mempelajari siklus hujan tetapi
tidak sampai kepada kesimpulan siapa yang menurunkan hujan. Atau mempelajari
tatasurya, tapi tidak dikenalkan dan dipahamkan bahwa Allah-lah yang mendesain
semua keteraturan di jagad raya ini. Tidak heran, apalagi masih banyak
dari para saintis kita yang bobrok akhlaknya. Bahkan sebagiannya lagi melakukan
korupsi dan eksploitasi secara besar-besaran hingga alam menjadi rusak. Tidak
diragukan lagi, ini adalah akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual yang
seharusnya mereka dapatkan selama bersekolah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Saintisme telah didefinisikan sebagai "pandangan bahwa
metode induktif sains adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
terutama bahwa sains dapat menghasilkan pengetahuan mengenai manusia dan
masyarakat yang benar." Saintisme berkembang menjadi suatu system lama
manusia yang dianggap penuh dengan keyakinan tidak rasional. Saintisme adalah agama baru manusia Modern. Sementara dalam pandangan islam, saintis bekerja dengan logika jalan berpikir dan
kecerdasan yang cemerlang yang diberikan Allah kepada mereka untuk dapat selalu
mendekatkan diri kepada-Nya. saintis adalah orang yang benar-benar cerdas maka
merka akan berpikir bahwa kecerdasan yang mereka miliki akan menghantarkan
mereka pada keridhaan Allah sehinggu hidup mereka penuh dengan rasa ketundukan
kepada-Nya. Juga saintis adalah orang yang benar-benar cerdas maka merka akan
berpikir bahwa kecerdasan yang mereka miliki akan menghantarkan mereka pada
keridhaan Allah sehinggu hidup mereka penuh dengan rasa ketundukan kepada-Nya.
Benarlah apa
yang dikatakan Albert Einstein: “Science with out religion is blind”, ilmu
pengetahuan tanpa agama adalah buta. Oleh sebab itu, kita semua
berimajinasi akan adanya ilmu Matematika, Biologi, Geografi yang sejak awal
dibangun dan didasarkan dari kitab suci Al-Quranu’l Karim. Selain itu, kita
semua juga memimpikan akan bangkitnya kembali peradapan Islam yang bertumpu
pada sains Qurani. Tanpa sains tidak ada masa depan. Tanpa nilai-nilai Quran,
sains pun cenderung hanya menilai dari nilai objektivitas dan membawa
malapetaka. Oleh karenanya pentingnya mendalami ilmu agama serta lmu
pengetahuan secara seimbang. Karena al quran sebagai pedoman petunjuk hidup
manusa dapat memberikan jalan yang lurus serta kebermanfaatan yang banyak untuk kemaslahatan umat
apabila kita dapat memahami ajaran agama
serta dapat mengamalkan melalui ilmu yang sudah kita dapat.[[ix]]
DAFTAR PUSTAKA
[i] http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/01/buanglah-keyakinan-agama-lamamu-dan-bergabunglah-dengan-agama-orang-modern-ilmuwan--596570.html
[ii]http:/id.wikipedia.org/wiki/Saintisme
[iii]http://books.google.co.id/books?id=RzmVRtcUJtEC&pg=PA51&lpg=PA51&dq=saintisme&source=bl&ots=bUvew4fE_2&sig=ANeFtmRAxvRlN4IBDKKK3XeEDUg&hl=id&sa=X&ei=FYt8U5fJGo7JrQe614HACA&redir_esc=y#v=onepage&q=saintisme&f=false
[iv] http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/01/buanglah-keyakinan-agama-lamamu-dan-bergabunglah-dengan-agama-orang-modern-ilmuwan--596570.html
[v] Buanglah-keyakinan-agama-lamamu-dan-bergabunglah-dengan-agama-orang-modern-ilmuwan?
by Ahmad Jazuli Harwono..http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/01
[vii]
http://books.google.co.id/books?id=Z9-TNyQZhmoC&pg=PA174&lpg=PA174&dq=Anggapan+bahwa+sains+dapat+menjadi+juru+selamat+manusia+seperti+dikisahkan+oleh+Condorcet+itu+,